JAKARTA, RNN – Dosen dan mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Indonesia (FH UI) mengajukan permohonan uji materi Pasal 3 ayat (1) huruf c dan Pasal 20 ayat (2) Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2003 tentang Advokat (UU Advokat) ke Mahkamah Konstitusi (MK). Para Pemohon mengaku mengalami kerugian hak konstitusional akibat berlakunya pasal-pasal tersebut yang menyatakan advokat harus memenuhi persyaratan tidak berstatus sebagai pegawai negeri atau pejabat negara dan dilarang memegang jabatan lain yang meminta pengabdian sedemikian rupa sehingga merugikan profesi advokat atau mengurangi kebebasan dan kemerdekaan dalam menjalankan tugas profesinya.
“Sebenarnya ini merupakan curhatan dari para dosen PNS (Pegawai Negeri Sipil) fungsional yang ingin menjadi advokat tapi terhalang karena ada syarat dalam Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2003,” ujar kuasa hukum para Pemohon, Mario Ari Leonard Barus, dalam sidang pemeriksaan pendahuluan Perkara Nomor 150/PUU-XXII/2024 pada Senin (29/10/2024) di Ruang Sidang MK, Jakarta Pusat.
Larangan dosen PNS fungsional untuk menjadi advokat sebagaimana dimaksud dalam pasal-pasal tersebut membatasi kesempatan dosen PNS fungsional untuk meningkatkan kualitas dirinya. Padahal, dosen adalah ujung tombak dari pengembangan hukum di Indonesia, sebab melalui merekalah hukum disebarluaskan. Dengan demikian, pengembangan diri seorang dosen berbanding lurus dengan kualitas ilmu yang dapat diajarkannya kepada mahasiswanya.
Para Pemohon terdiri dari dua dosen FH UI Djarot Dimas Achmad Andaru (Pemohon I) dan Ahmad Madison (Pemohon II) serta mahasiswa FH UI Salsabilla Usman Patamani (Pemohon III). Akibat pasal-pasal tersebut, Pemohon I sebagai dosen calon PNS fungsional dan Pemohon II sebagai dosen PNS fungsional tidak bisa berprofesi sebagai advokat. Padahal Pemohon sudah mengikuti pendidikan khusus profesi advokat dan siap dilantik menjadi advokat. Hak konstitusional Pemohon untuk mengembangkan kompetensi dan ilmu pengetahuan yang dimilikinya di bidang hukum menjadi dirugikan secara aktual karena tidak bisa menjadi dosen PNS fungsional sekaligus advokat akibat pasal-pasal a quo.
disampaikan, maka justru menimbulkan diskriminasi. “Kalau ini dikabulkan justru terjadi diskriminasi,” kata Arsul menasihati.
Sebab, ada PNS lain yang ditempatkan di lembaga penelitian lain serta ada pula dosen PNS yang ditempatkan di perguruan tinggi swasta bukan perguruan tinggi yang bisa saja ingin juga menjadi advokat. Namun, keinginan mereka tersebut tidak diakomodasi dalam pasal a quo karena hanya dibuka spesifik untuk dosen PNS fungsional di perguruan tinggi negeri.
Sebelum menutup persidangan, Saldi mengatakan para Pemohon memiliki waktu 14 hari untuk memperbaiki permohonan. Berkas perbaikan permohonan tersebut paling lambat harus diterima Mahkamah pada Senin, 11 November 2024. (Berita HUMAS MKRI/Red)