Lampung,RNN–Polemik temuan obat dan Bahan Medis Habis Pakai (BMHP) kadaluarsa di gudang farmasi Dinas Kesehatan Kabupaten Pesawaran semakin memanas. Setelah praktisi hukum bersuara, kini giliran aktivis anti-korupsi, tokoh masyarakat, hingga publik mendesak aparat penegak hukum (APH) untuk turun tangan.
Ketua Lembaga Pengawasan Kebijakan Pemerintah dan Keadilan (LP-KPK) Provinsi Lampung, Ahmad Yusuf, menegaskan kasus ini tidak boleh dianggap sepele.
> “Harus ada tindakan tegas dari APH. Obat kadaluarsa yang ditemukan BPK RI saat audit tahun 2024 di Dinas Kesehatan Pesawaran tidak boleh hanya ditegur, tapi harus dikenakan sanksi hukum,” ujarnya, Jumat (22/8/2025).
Diamnya Pejabat Pesawaran
Sayangnya, hingga kini pihak Dinas Kesehatan terkesan bungkam. Saat dikonfirmasi melalui pesan singkat WhatsApp, Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten Pesawaran, dr. Nana, tidak memberikan jawaban meski pesan terpantau terkirim.
Pertanyaan yang dilayangkan media KBNI–News menyangkut hal krusial, mulai dari prosedur pemusnahan obat kadaluarsa senilai Rp52,6 juta, lemahnya pencatatan stok, hingga disparitas data persediaan senilai Rp633 juta lebih. Namun, tak satu pun yang ditanggapi.
Sikap serupa juga ditunjukkan Kepala Inspektorat Kabupaten Pesawaran, Singgih. Konfirmasi resmi melalui WhatsApp hanya dibaca tanpa balasan. Padahal, lembaga yang dipimpinnya memiliki mandat langsung dari Bupati untuk mengawasi stok opname persediaan tahun 2024.
Sorotan Tokoh Masyarakat
Desakan transparansi turut datang dari warga. Seorang tokoh masyarakat yang enggan disebut namanya mengungkap dugaan adanya praktik bermasalah sejak tahap pengadaan.
> “Coba perhatikan perusahaan farmasi yang menang tender tahun ini. Obat yang dikirim ke puskesmas atau klinik biasanya masa kadaluarsanya tinggal enam bulan. Suntikan juga banyak yang mendekati kadaluarsa. Itu sebabnya bagian obat di puskesmas atau rumah sakit rawan permainan uang. Belum lagi soal siapa yang mengelola limbah medis, itu juga perlu dibongkar,” ungkapnya.
Administrasi Amburadul
Temuan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) memperlihatkan buruknya manajemen farmasi di Pesawaran. Audit mencatat:
Obat dan BMHP kadaluarsa senilai Rp52,61 juta masih tercatat sebagai persediaan aktif.
Barang senilai Rp633 juta lebih tidak tercatat dalam kartu stok gudang farmasi.
Seorang sumber internal Pemkab Pesawaran menyebut fakta ini sebagai alarm keras bagi publik.
> “Kalau barang ratusan juta bisa hilang dari pencatatan, bagaimana kita yakin obat yang disalurkan ke puskesmas benar-benar aman? Ini bukan hanya soal administrasi, tapi soal nyawa manusia,” tegasnya.
Desakan Hukum dan Transparansi
Advokat Lampung, Novianti SH, menegaskan Pemkab Pesawaran wajib membuka informasi publik terkait kasus ini.
> “Jangan hanya menyalahkan sistem. Ada pejabat yang jelas-jelas lalai. Ini menyangkut hak masyarakat untuk sehat sesuai amanat Undang-Undang Kesehatan dan Keterbukaan Informasi Publik,” katanya.
Senada, advokat senior Lampung, Yulius Andesta SH, mengingatkan bahwa penyimpanan obat kadaluarsa tanpa pemusnahan resmi bisa membuka celah praktik ilegal yang mengancam keselamatan pasien.
Menanti Sikap Tegas
Publik kini menunggu: apakah Pemkab Pesawaran akan mengambil langkah berani, seperti pemusnahan obat secara terbuka dan pemberian sanksi kepada pejabat terkait, atau justru membiarkan kasus ini menguap begitu saja?
“Ini momentum penting. Kalau tidak ada tindakan nyata, berarti pemerintah daerah menyepelekan nyawa rakyat,” tutup Novianti.
Kasus ini bukan hanya ujian bagi Dinas Kesehatan, melainkan juga cermin komitmen Pemkab Pesawaran dalam menjaga hak dasar warganya: hak untuk sehat dan terlindungi dari kelalaian fatal.